Viral Perayaan Idul Fitri Jamaah Masjid Aolia Gunung Kidul, Begini Respon MUI!

Tanggapan Prof. KH Asrorun Ni'am Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa terhadap Praktik Keagamaan Jamaah Aolia

Beredar di media tentang ribuan Jamaah Masjid Aolia yang telah merayakan Idul Fitri 1445 Hijriah lebih awal pada Jumat (5/4/2024). Hal tersebut menjadi heboh dan kontroversi tersendiri.

Kontroversi Penentuan Hari Raya Idul Fitri atas Dasar Telah "Menelepon Allah"

Perayaan Idul Fitri yang viral baru-baru ini, ditandai dengan pelaksanaan Shalat Idul Fitri di beberapa tempat di Giriharjo, Kecamatan Panggang, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Shalat didirikan di Masjid Aolia dan kediaman Pimpinan Jamaah Masjid Aolia di Dusun Panggang III, Giriharjo. Mbah Benu yang bernama lengkap Raden Ibnu Hajar Pranolo sebagai pimpinan, mengungkapkan bahwa penentuan 1 Syawal didasarkan pada keyakinannya sendiri dan menyatakan bahwa dirinya telah “Menelepon Allah” perihal malam 30 Ramadan bertepatan pada Kamis (4/4/2024).

Mbah Benu juga mengeklaim dirinya sebagai pemimpin Jamaah Aolia telah mempunyai pengikut yang tersebar di berbagai Provinsi di Indonesia; mulai dari Kalimantan, Sulawesi, Papua, dan bahkan sampai luar Negeri.

Lihat Juga; Video Panduan Niat Zakat Fitrah


Respon MUI; Praktik Tersebut Perlu Diingatkan Bisa Juga di Hukumi Haram

Prof. KH Asrorun Ni'am Sholeh, Ketua MUI Bidang Fatwa menegaskan bahwa praktik yang dilakukan oleh Jamaah Masjid Aolia di Gunung Kidul tersebut merupakan sebuah kesalahan yang sangat perlu untuk diingatkan
 
"Kasus di sebuah komunitas di Gunungkidul itu jelas kesalahan, perlu diingatkan," ungkap Kiai Ni'am pada keterangan laman resmi MUI.
 
Ketua MUI Bidang Fatwa tersebut juga menyatakan bahwa ketika praktik keagaaman tersebut dilakukan dengan lalai maka perlu untuk diingatkan. Namun ketika praktik tersebut dilakukan dengan kesadaran dan menjadi sebuah keyakinan dalam beragama, maka bisa di hukumi haram.
 
"Bisa jadi dia melakukannya karena ketidaktahuan, maka tugas kita memberi tahu, kalau dia lalai, diingatkan," ujarnya.
 
"Kalau praktik keagamaan itu dilakukan dengan kesadaran dan menjadi keyakinan keagamaannya, maka itu termasuk pemahaman dan praktik keagamaan yang menyimpang, mengikutinya haram," jelasnya.
 
Kyai Ni’am juga menjelaskan bahwa dalam penentuan awal dan akhir bulan Ramadan, telah ditentukan oleh syariat dan ada ilmu tersendiri untuk mengkajinya. Bagi yang tidak mempunyai keilmuan dan keahlian dalam bidang tersebut, maka wajib mengikuti kepada yang mempunyai keilmuan dan keahlian dalam bidang tersebut.
 
"Bagi yang tidak memiliki ilmu dan keahlian, wajib mengikuti yang punya ilmu dan keahlian. Tidak boleh menjalankan ibadah dengan mengikuti orang yang tidak punya ilmu di bidangnya," pungkasnya.

Admin

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama